Kemampuan literasi peserta didik yang menurun kembali menjadi perhatian publik. Berbagai hasil asesmen nasional dan internasional menunjukkan bahwa kemampuan membaca, memahami teks, serta menalar informasi siswa di Indonesia belum mengalami perbaikan signifikan dan bahkan cenderung memburuk.
Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah penurunan literasi hanya terkait dengan minat baca semata, atau justru mencerminkan kualitas hasil pembelajaran yang belum optimal?
Kesenjangan antara Kemampuan Membaca dan Pemahaman
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, masih banyak ditemui siswa yang dapat membaca teks dengan lancar, namun mengalami kesulitan dalam menangkap makna, menarik kesimpulan, atau menghubungkan isi bacaan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Literasi sering kali dipersempit maknanya hanya sebagai kemampuan membaca dan menulis, padahal sebenarnya mencakup kemampuan berpikir kritis, memahami informasi, serta menggunakan pengetahuan secara reflektif.
Tekanan akademik yang berorientasi pada pencapaian nilai, ketuntasan materi, dan penyelesaian administrasi pembelajaran sering kali membuat proses belajar kehilangan esensinya. Guru dituntut untuk menyelesaikan target kurikulum, sementara siswa dibebani tugas yang menekankan hafalan daripada pemahaman mendalam. Akibatnya, literasi tidak berkembang sebagai budaya belajar, melainkan hanya menjadi formalitas kegiatan membaca tanpa makna.
Pendekatan Pembelajaran dan Tantangan Digital
Hasil pembelajaran sebenarnya tidak hanya diukur dari angka rapor atau kelulusan, tetapi dari sejauh mana siswa mampu mengolah informasi, menalar, dan mengambil keputusan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Ketika pembelajaran masih berpusat pada ceramah satu arah dan latihan soal yang berulang, kemampuan literasi akan sulit berkembang.
Secara teoretis, pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa pengetahuan dibangun melalui proses aktif, dialogis, dan kontekstual. Siswa perlu dilibatkan dalam diskusi, analisis teks, pemecahan masalah, dan refleksi kritis. Tanpa ruang untuk berpikir dan bertanya, literasi akan terus tertinggal, meskipun jam belajar dan tumpukan materi terus bertambah.
Di era digital seperti sekarang, tantangan literasi semakin kompleks. Siswa dihadapkan pada banjir informasi dari media sosial dan internet, tetapi tidak dibekali kecakapan memilah, memverifikasi, dan memahami informasi secara kritis. Ironisnya, teknologi seperti gawai yang seharusnya bisa menjadi sarana belajar justru sering menjadi gangguan dan memperlemah daya konsentrasi mereka.
Selain itu, masih banyak orang tua siswa yang menyepelekan literasi. Banyak dari mereka yang acuh dan membiarkan anak mereka tumbuh hanya bermodalkan pengetahuan membaca tanpa pemahaman. Mereka menganggap bahwa literasi hanyalah sebuah kegiatan membaca biasa yang tidak akan berpengaruh pada apa pun.
Literasi sebagai Investasi Jangka Panjang
Fenomena ini menegaskan bahwa rendahnya literasi bukan sekadar persoalan teknis pembelajaran, melainkan persoalan sistemik yang berkaitan dengan budaya belajar di sekolah dan di rumah. Ketika membaca tidak dijadikan kebutuhan intelektual, hasil belajar pun cenderung dangkal dan mudah dilupakan.
Penurunan literasi seharusnya menjadi cermin untuk mengevaluasi kualitas hasil belajar secara menyeluruh. Sekolah perlu mengembalikan pembelajaran pada tujuan hakikinya: membentuk peserta didik yang mampu berpikir, memahami, dan bertindak secara bertanggung jawab. Guru memegang peran strategis sebagai fasilitator yang menumbuhkan budaya literasi melalui pembelajaran yang bermakna, dialogis, dan kontekstual.
Lebih dari itu, literasi harus dipahami sebagai investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia. Tanpa literasi yang kuat, hasil belajar hanya akan menjadi angka statistik tanpa daya ubah. Maka, pertanyaannya bukan lagi “apakah literasi anjlok berdampak pada hasil belajar?” melainkan “sejauh mana kita bersedia berbenah agar literasi kembali menjadi jantung pendidikan?”