Sebelum Pangandaran dikenal sebagai destinasi wisata dengan hotel, papan selancar, dan deretan kafe di tepi pantai, laut telah lebih dulu menjadi pusat kehidupan masyarakatnya. Di sanalah harapan bergantung dan relasi manusia dengan alam dibangun secara bertahap. Dari laut pula lahir sebuah tradisi bernama Hajat Laut yang masih bertahan hingga saat ini. Sebuah perayaan tahunan yang tidak hanya menyimpan nilai budaya, tetapi juga merekam jejak sejarah panjang masyarakat pesisir Pangandaran.
Tradisi Hajat Laut telah ada sejak masa yang sangat lampau. “Saking lamanya, saya bahkan tidak berani memperkirakan kapan tradisi ini dimulai dan siapa yang memulainya,” ujar Edi (51), penggerak Hajat Laut Pangandaran.
Warisan Lisan Tanpa Catatan Tertulis
Tidak ada dokumentasi tertulis mengenai asal-usul Hajat Laut. Tidak terdapat prasasti atau dokumen sejarah. Yang bertahan hanyalah cerita lisan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Edi menerangkan bahwa kisah tentang Hajat Laut hidup dari perjalanan para leluhur nelayan Pangandaran. Sebagian besar dari mereka berasal dari wilayah dataran tinggi Pangandaran yang bermigrasi ke pesisir dan menggantungkan hidupnya pada laut. Pada masa itu, alat tangkap masih sangat sederhana, jarak melaut terbatas, dan keselamatan sepenuhnya bergantung pada cuaca serta kondisi alam. Dari ketergantungan itulah lahir kebiasaan tahunan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa atas keselamatan dan rezeki yang diperoleh.
Waktu Pelaksanaan dan Makna Filosofis
Hajat Laut dilaksanakan setahun sekali pada bulan Muharam, tepatnya di hari Jumat Kliwon menurut penanggalan Islam dan Jawa. Penentuan waktu ini pun tidak pernah tercatat secara resmi, melainkan diyakini dan dijaga berdasarkan kesepakatan bersama yang diwariskan lintas generasi. Bahkan, Edi menjelaskan bahwa uyutnya sudah mendengar kisah tentang Hajat Laut sejak masih muda. Artinya, tradisi ini telah melintasi setidaknya beberapa generasi tanpa pernah benar-benar terputus.
Prosesi Hajat Laut selalu diawali dengan pembacaan bismillah. Bagi Edi, ini menjadi penegasan bahwa tradisi tersebut tidak berdiri di luar nilai religius. Setelah itu, barulah disebutkan nama-nama karuhun atau leluhur yang telah berjasa bagi masyarakat di wilayah ini. Menurut Edi, menyebut nama karuhun bukanlah bentuk pemujaan, melainkan penghormatan. Di masa lalu, selalu ada sosok-sosok yang memiliki sikap keberanian dan kepedulian besar, contohnya seperti membuka wilayah pesisir Pangandaran. Mereka layak dikenang sebagai bagian dari sejarah.
Seluruh prosesi dalam Hajat Laut, mulai dari awal sampai akhir mengandung makna dan simbol yang merepresentasikan hubungan manusia dengan alam, rasa syukur serta harapan akan keselamatan para nelayan. Karena itu, baginya kurang tepat apabila tradisi ini serta-merta dicap sebagai perbuatan bertentangan dengan ajaran tertentu tanpa terlebih dahulu memahami konteks sejarah, nilai budaya, dan filosofi yang melingkupinya.
Perjuangan Mempertahankan Tradisi
Sekitar 12 tahun lalu, pemerintah kala itu berencana menghentikan pelaksanaan Hajat Laut karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama. “Saat itu saya sedih dan prihatin. Pangandaran sudah punya tradisi, tapi justru mau dihilangkan,” ucap Edi.
Dari kegelisahan tersebut, ia akhirnya mengambil sikap. Ia mengajak masyarakat untuk tetap mempertahankan pelaksanaan Hajat Laut, meski dengan segala risiko dan tantangan.
Banyak warga yang memiliki keinginan serupa untuk mempertahankan tradisi tersebut. Tidak semua terlibat langsung dalam prosesi, tetapi mereka tetap mencari cara untuk berkontribusi, mulai dari memberikan dukungan moral hingga membayar iuran. Bagi Edi, kebersamaan itulah yang membuat Hajat Laut tetap hidup hingga hari ini.
Identitas Budaya dan Makna Simbol
Ia meyakini bahwa sebuah daerah membutuhkan identitas. Edi kerap membandingkan Pangandaran dengan Bali dan Yogyakarta yang dikenal kuat menjaga ciri khas budayanya. “Mereka punya identitas, dan itu membuat mereka dihargai. Kita juga harus bisa,” ujarnya. Menurutnya, Hajat Laut bukan hanya milik nelayan, melainkan milik seluruh masyarakat yang ikut menikmati hasil laut. Karena itu, rasa syukur yang dirayakan seharusnya dirasakan bersama.
Beberapa simbol dalam prosesi Hajat Laut kerap disalahpahami. Salah satunya adalah tradisi melarung nasi ke laut. Edi menolak anggapan bahwa tindakan tersebut mubazir.
“Dalam setahun kita menghabiskan berapa kilo beras? Yang dilarung itu hanya sebagian kecil,” katanya.
Hal serupa berlaku pada kepala kambing yang dilepaskan ke laut. Bagian yang dilarung hanyalah kepalanya, sementara sebagian besar dagingnya dikonsumsi oleh masyarakat. “Selain itu, nasi dan kepala kambing tersebut tidak benar-benar sia-sia, karena akan dimakan oleh makhluk hidup di dalamnya,” lanjutnya.
Menurutnya, mubazir justru terjadi ketika sesuatu yang tidak digunakan atau dimakan jumlahnya jauh lebih besar.
Warisan Keluarga dan Masa Depan Tradisi
Keterlibatan Edi dalam Hajat Laut bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Tradisi ini telah mengalir dalam darah keluarganya, dari uyut, kakek, ayah, hingga kini kepadanya. Ayah Edi sendiri merupakan salah satu sesepuh Hajat Laut. “Bagi saya ini semacam panggilan jiwa, yang membuat hati saya tergerak untuk ikut melestarikan,” ujarnya.
Sejak 2010, Edi aktif menjadi penggerak tradisi ini dan menikmati proses menjaganya. Kecintaannya terhadap kebudayaan juga mendorongnya mendirikan Paguyuban Panopang (Paguyuban Nonoman Pangandaran), sebuah wadah bagi anak-anak muda yang memiliki minat terhadap budaya lokal.
Edi menjelaskan bahwa sesuatu baru bisa disebut tradisi apabila dilakukan secara terus-menerus, setidaknya oleh tiga generasi. Ia sadar tidak ada jaminan bahwa generasi setelahnya akan meneruskan tradisi ini. Namun, harapan itu tetap ada. “Dari sekian banyak orang, masa tidak ada yang mau meneruskan. Nanti siapa pun yang jadi penggerak, saya tidak masalah,” harapnya.
Bagi Edi, menjaga Hajat Laut bukan sekadar mempertahankan sebuah ritual tahunan. Ia adalah upaya merawat ingatan, identitas masyarakat Pangandaran, dan hubungan manusia dengan laut. Hubungan yang telah memberi kehidupan jauh sebelum Pangandaran dikenal dunia sebagai tujuan wisata.