Banjir berulang di berbagai wilayah Indonesia, khususnya Sumatera, bukan semata peristiwa alam biasa. Fenomena ini menandakan krisis ekologis yang semakin parah. Luapan air tidak hanya disebabkan curah hujan tinggi, melainkan juga kerusakan hutan, pengabaian tata ruang, serta pembangunan yang sering mengesampingkan daya dukung lingkungan.
Kondisi ini memerlukan refleksi mendalam, terutama terkait peran agama dalam mencegah kerusakan sebelum bencana terjadi. Selama ini, agama kerap muncul pascabencana melalui doa, khutbah, dan penguatan spiritual. Peran tersebut penting, namun ketika bencana terus berulang, agama juga diuji: apakah cukup berfungsi sebagai kekuatan moral yang mencegah kerusakan, bukan sekadar menguatkan setelahnya?
Konsep Ekoteologi dalam Perspektif Agama
Di sinilah relevansi gagasan ekoteologi. Ekoteologi memandang alam bukan sebagai objek netral, melainkan bagian dari amanah spiritual manusia. Dalam Islam, Al-Qur’an mengingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia” (QS. ar-Rum: 41). Ayat ini menegaskan bahwa krisis ekologis merupakan konsekuensi pilihan manusia sendiri.
Prinsip ini selaras dengan kaidah ushul fiqh: dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih, mencegah kerusakan harus didahulukan daripada mengejar kemaslahatan. Artinya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tidak dapat dibenarkan jika menimbulkan kerusakan lingkungan yang mengancam keselamatan masyarakat.
Nilai serupa juga ditemukan dalam tradisi agama lain. Dalam Kekristenan dikenal konsep stewardship of creation, yang memandang manusia sebagai penatalayan ciptaan. Kesamaan ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap lingkungan merupakan nilai universal lintas agama.
Implementasi Program Kementerian Agama
Yang patut diapresiasi, ekoteologi kini tidak berhenti sebagai wacana. Ia telah menjadi program penting Kementerian Agama, yang digagas dan ditegaskan oleh Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar. Program ini bertujuan agar agama tidak hanya hadir dalam ruang ritual, tetapi juga berdampak nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam merespons krisis ekologis.
Momentum ini semakin relevan ketika Kementerian Agama memasuki usia 80 tahun, sejak berdiri pada 3 Januari 1946. Delapan dekade keberadaannya menjadi saat yang tepat untuk menegaskan kembali bahwa agama harus hadir sebagai penjaga etika publik, termasuk dalam urusan lingkungan.
Namun, tantangan terbesar ekoteologi terletak pada praktiknya. Para pemuka agama dari pesantren, majelis taklim, gereja, vihara, hingga para penyuluh agama, perlu aktif menyampaikan pesan moral tentang kewajiban menjaga alam dan lingkungan sekitar. Pesan keagamaan tidak boleh berhenti di mimbar, tetapi harus menjadi kesadaran sosial.
Lebih jauh, seruan moral ini perlu terus diarahkan kepada para pemangku kekuasaan. Kebijakan pembangunan, dari pusat hingga daerah, harus berbasis keberlanjutan dan memperhitungkan dampak ekologis jangka panjang. Negara tidak cukup hadir setelah bencana, tetapi harus memastikan kebijakan publik tidak menjadi sumber bencana baru.
Krisis ekologis pada akhirnya adalah ujian bersama. Agama diuji bukan pada seberapa lantang ia dikhotbahkan, tetapi pada sejauh mana ia mampu memengaruhi kebijakan dan tindakan nyata. Jika iman mampu menuntun arah pembangunan yang berkeadilan ekologis, maka agama benar-benar hadir sebagai kekuatan moral bagi masa depan Indonesia.