Posted in

Perempuan yang Tak Pernah Skrining Paling Berisiko Kena Kanker Serviks

Ketua Pokja Kanker Serviks Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr. Tofan Widya Utami menyatakan bahwa faktor risiko utama kanker serviks adalah perempuan yang tidak pernah melakukan pemeriksaan kesehatan.

“Jadi kalau kita lihat, pemicu dari kanker serviks sebenarnya adalah populasi perempuan yang tidak pernah di-skrining,” ungkap Tofan usai acara Vaksin HPV Menuju 500 Tahun Jakarta di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Selasa (23/12).

Setiap Perempuan Memiliki Risiko Sama

Ia menegaskan bahwa semua perempuan memiliki potensi risiko yang sama terhadap kanker serviks, sehingga tidak tepat jika penyakit ini hanya dikaitkan dengan kelompok tertentu.

“Bahwa setiap perempuan berisiko. Jangan pernah berpikir bahwa penderita kanker serviks itu adalah pada populasi tertentu yang memiliki faktor-faktor risiko,” tegasnya.

Menurut Tofan, rendahnya angka pemeriksaan dini menjadi masalah utama dalam upaya pencegahan kanker serviks di Indonesia. Perempuan yang tidak pernah atau jarang melakukan skrining justru memiliki risiko paling tinggi.

“Pada kenyataannya adalah perempuan yang tidak pernah diskrining, perempuan yang under-screened, itu adalah faktor risiko yang terbesar,” jelas dia.

Rencana Perluasan Vaksinasi HPV

Dalam kesempatan tersebut, Tofan juga menyampaikan rencana perluasan program pencegahan kanker serviks melalui vaksinasi HPV. Ia menyebut pemerintah telah memasukkan kebijakan tersebut dalam Rencana Aksi Nasional sejak 2023.

“Jadi memang pemerintah luar biasa dalam Rencana Aksi Nasional tahun 2023 sudah dinyatakan bahwa kita akan catch-up program,” ujarnya.

Ia memaparkan bahwa mulai 2028, vaksinasi HPV tidak hanya menyasar anak perempuan hingga usia 15 tahun, tetapi juga akan diperluas kepada kelompok usia lainnya.

“Jadi vaksinasi HPV mulai tahun 2028 itu tidak hanya pada anak perempuan sampai usia 15 tahun, tapi akan catch-up pada perempuan dewasa usia 21 sampai 26 tahun, dan bahkan anak laki-laki nanti,” kata Tofan.

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa diperlukan perhitungan matang terkait ketersediaan vaksin agar program tersebut dapat berjalan optimal hingga 2030.

“Tentu kita akan melihat dari 44,9 juta dosis yang diperlukan sampai tahun 2030 apakah cukup atau tidak,” ungkapnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *