Posted in

Pergantian Kurikulum yang Terlalu Sering: Tantangan Konsistensi dalam Sistem Pendidikan Indonesia

Setiap kali terjadi pergantian kurikulum, selalu disertai janji perbaikan. Kurikulum sebelumnya dianggap tidak relevan lagi, sementara kurikulum baru diharapkan menjadi solusi. Namun di Indonesia, frekuensi pergantian kurikulum yang terlalu tinggi justru memunculkan pertanyaan mendasar.

Sejak tahun 1947, Indonesia telah mengganti kurikulum nasional sebanyak sebelas kali. Data ini disampaikan Kompas.com dalam laporan sejarah pendidikan nasional yang menyoroti bahwa perubahan kurikulum sering kali beriringan dengan pergantian menteri pendidikan, bukan semata hasil evaluasi jangka panjang terhadap mutu pembelajaran (Detik.com, 2025).

Stabilitas Kebijakan Pendidikan yang Terancam

Pola tersebut menimbulkan persoalan serius dalam kebijakan publik, yaitu hilangnya stabilitas. Kurikulum yang seharusnya menjadi kerangka pembelajaran jangka panjang berubah menjadi penanda periode kekuasaan. Nama berganti, istilah diganti, format administrasi diperbarui, sementara substansi kompetensi dasar relatif serupa. Kurikulum Merdeka menjadi contoh paling mutakhir. Pemerintah menyebut kurikulum ini sebagai upaya memberi fleksibilitas dan kemandirian belajar. Namun di lapangan, transisi tersebut memunculkan beban baru, baik bagi guru maupun siswa.

Implementasi Kurikulum Merdeka menyerap anggaran negara yang tidak kecil. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat bahwa anggaran implementasi kurikulum ini mencapai Rp2,86 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk pelatihan guru, penyusunan buku ajar, serta pengembangan platform digital pembelajaran. (Medcom.id, 2022)

Beban Biaya dan Adaptasi di Tingkat Sekolah

Di tingkat sekolah, perubahan kurikulum juga berarti biaya tambahan. Sekolah harus mencetak ulang modul ajar, mengganti papan informasi, memperbarui dokumen administrasi, dan menyesuaikan perangkat pembelajaran. Beban ini tidak selalu ditopang oleh anggaran negara secara tepat waktu.

Dampak pergantian kurikulum tidak berhenti pada persoalan anggaran. Di ruang kelas, siswa harus menyesuaikan diri dengan cara belajar yang terus berubah. Dari pembelajaran tematik Kurikulum 2013, kemudian beralih ke pembelajaran berbasis proyek dalam Kurikulum Merdeka, siswa dituntut beradaptasi dengan sistem asesmen yang berbeda dalam waktu singkat.

Perubahan kurikulum yang terlalu sering dan berlangsung cepat dapat menurunkan motivasi belajar siswa. Siswa membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan pola pembelajaran dan sistem penilaian yang baru. Jika perubahan dilakukan tanpa masa adaptasi yang cukup, siswa menjadi bingung dan guru pun kesulitan menerapkannya secara optimal.

Dampak pada Kualitas Pembelajaran

Akibatnya, banyak siswa merasa terbebani sehingga minat belajar mereka menurun. Meskipun pemerintah memandang perubahan kurikulum sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan, pelaksanaannya di sekolah memerlukan waktu dan pendampingan yang memadai. Tanpa hal tersebut, perubahan kurikulum justru berisiko mengganggu proses belajar.

Ironisnya, berbagai perubahan dan biaya tersebut belum menunjukkan lonjakan kualitas pembelajaran secara nasional. Organisation for Economic Co operation and Development mencatat skor literasi Indonesia dalam PISA 2022 berada di angka 371, turun dibandingkan 2018 dan masih jauh di bawah rata rata negara OECD.

Teori Politik Simbolik dalam Pendidikan

Fenomena ini dapat dibaca melalui kacamata teori politik simbolik. Ilmuwan politik Murray Edelman menjelaskan bahwa kebijakan publik sering kali digunakan sebagai simbol untuk menunjukkan respons pemerintah terhadap masalah, meskipun dampak substantifnya terbatas. Perubahan istilah, nama program, dan jargon baru menciptakan kesan pembaruan, meski praktik di lapangan tidak banyak berubah (Edelman, 1964).

Dalam konteks pendidikan Indonesia, pergantian nama kurikulum berfungsi sebagai penanda bahwa pemerintah sedang melakukan reformasi. Kurikulum lama dipersepsikan gagal, kurikulum baru dihadirkan sebagai solusi, meskipun evaluasi menyeluruh terhadap implementasi sebelumnya belum selesai. Michel Foucault menyebut praktik ini sebagai diskontinuitas pengetahuan, yaitu pemutusan wacana lama untuk membangun legitimasi wacana baru. Kurikulum lama tidak diperbaiki secara bertahap, melainkan ditinggalkan secara simbolik (Foucault, 1972).

Padahal, Charles Lindblom dalam teori incrementalisme menegaskan bahwa kebijakan publik yang kompleks seperti pendidikan lebih efektif diperbaiki secara bertahap dan konsisten, bukan melalui perubahan besar yang berulang (Lindblom, 1959).

Implikasi untuk Indonesia Emas 2045

Visi Indonesia Emas 2045 menempatkan pembangunan sumber daya manusia sebagai pilar utama. Pemerintah menargetkan peningkatan Human Capital Index hingga mendekati 0,73. Namun target ini sulit tercapai jika pendidikan dasar dan menengah terus berada dalam kondisi transisi yang tidak pernah selesai. Anak anak usia sekolah hari ini adalah generasi produktif pada 2045. Jika selama masa belajar mereka terus disibukkan dengan perubahan metode, istilah, dan sistem penilaian, maka energi belajar habis untuk beradaptasi, bukan untuk memperdalam kompetensi.

Rekomendasi untuk Kebijakan Pendidikan

Pertama, pemerintah perlu menghentikan praktik pergantian simbolik kurikulum dan menempatkan stabilitas sebagai prioritas kebijakan pendidikan. Kedua, setiap perubahan kurikulum harus didasarkan pada evaluasi empiris terbuka yang melibatkan guru, siswa, dan akademisi independen. Ketiga, fokus anggaran perlu dialihkan dari penggantian dokumen dan atribut menuju peningkatan kapasitas guru dan pendampingan pembelajaran. Keempat, kurikulum nasional harus diposisikan sebagai kebijakan jangka panjang lintas pemerintahan, sejalan dengan agenda pembangunan sumber daya manusia Indonesia Emas 2045.

Dalam pendidikan, perubahan memang penting. Namun yang lebih penting adalah konsistensi. Tanpa itu, kurikulum akan terus bergerak, sementara mutu pembelajaran berjalan di tempat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *