Posted in

Pupusas Amerika: Kuliner sebagai Jembatan Keberagaman Budaya

Pengalaman menempuh pendidikan di Amerika Serikat menjadi momen penting dalam pembentukan pandangan dunia seorang mahasiswa. Sebagai alumni Universitas Airlangga, refleksi atas masa studi di negeri Paman Sam mengungkap bahwa hidup dalam lingkungan multikultural memberikan kesempatan unik untuk memahami keberagaman secara langsung, bukan sekadar teori akademis, melainkan sebagai pengalaman yang memperkaya kearifan sosial.

Di kampus, interaksi dengan rekan-rekan dari berbagai kawasan dunia seperti Asia Timur, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Latin selalu menghadirkan cerita, sudut pandang, serta nilai-nilai budaya yang beragam. Salah satu pertemanan yang paling berkesan adalah dengan seorang mahasiswa asal El Salvador.

Pelajaran Budaya dari El Salvador

Dari teman tersebut, diperoleh banyak pengetahuan mengenai budaya Amerika Latin, mencakup tradisi keluarga, masalah sosial di negara asalnya, hingga aspirasi generasi muda di sana. Dialog antara mereka sering berkembang menjadi diskusi mendalam tentang identitas, sejarah, dan visi terhadap masa depan.

Pada suatu kesempatan, teman dari El Salvador itu mengajak mencicipi hidangan khas negaranya yang populer, yaitu pupusas.

Mengingat latar belakang agama Islam, disajikan versi yang lebih sesuai, yaitu pupusas berisi keju atau kacang. Makanan ini merupakan roti pipih dari adonan jagung atau tepung beras yang diisi berbagai bahan, kemudian dipanggang di atas komal, peralatan masak tradisional. Biasanya disantap dengan curtido, acar kol fermentasi ringan yang memberikan rasa segar dan sedikit asam, serta saus tomat halus sebagai penyeimbang cita rasa.

Makna di Balik Sepiring Pupusas

Saat pertama kali menyantap pupusas, terasa ada dimensi yang melampaui kenikmatan rasa semata. Seolah-olah masuk ke dalam budaya El Salvador melalui aroma, tekstur, dan narasi yang menyertai hidangan tersebut. Dari pengalaman itu, tersadari bahwa kuliner tradisional bukan sekadar soal cita rasa, melainkan juga berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan perbedaan.

Pengalaman sederhana namun bermakna ini semakin memperkuat pemahaman bahwa pembelajaran budaya tidak selalu terjadi di ruang kelas. Proses tersebut justru tumbuh dari interaksi sehari-hari, keberanian untuk saling berbagi cerita, serta keterbukaan untuk mencoba hal baru sambil tetap mempertahankan nilai-nilai pribadi. Kehadiran teman-teman dari berbagai belahan dunia mengajarkan tentang empati, toleransi, dan kemampuan melihat isu global dari berbagai perspektif.

Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, pengalaman ini dinilai sangat relevan dengan tantangan masa depan. Dunia yang semakin terhubung namun juga kompleks membutuhkan generasi yang mampu berkomunikasi lintas budaya—generasi yang memandang keragaman sebagai kekuatan kolektif. Pengalaman di Amerika Serikat telah membantu membentuk pribadi yang lebih terbuka, reflektif, dan siap menghadapi dinamika dunia global dengan pemahaman yang lebih manusiawi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *