Setiap kali kalender memasuki bulan Desember, media sosial kita seolah memiliki ritual tahunan yang selalu hadir: perdebatan mengenai hukum mengucapkan selamat Natal. Sebagian pihak dengan tegas mengharamkan, ada yang memperbolehkan atas dasar toleransi, dan tidak sedikit yang berada di tengah kebingungan.
Sebagai penuntut ilmu dalam bidang perbandingan mazhab, fenomena ini bukan sekadar persoalan “boleh atau tidak boleh” secara kaku. Jika kita bersedia menyelami lebih dalam khazanah literatur klasik, akan ditemukan bahwa para imam besar—Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, hingga Hambali—memiliki nalar hukum yang sangat kaya dalam memandang interaksi sosial dengan non-muslim.
Bagi saya, perbedaan pendapat ini bukanlah celah untuk saling membenci, melainkan sebuah ruang dialektika yang sangat menarik untuk dikaji.
Peta Pemikiran Imam Mazhab
Lantas, bagaimana sebenarnya peta pemikiran para imam mazhab mengenai ucapan ini? Apakah benar ini murni masalah akidah yang merupakan harga mati, ataukah ada celah muamalah di dalamnya?
Diskusi mengenai ucapan selamat ini biasanya bermuara pada satu hadis yang sangat populer: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR. Abu Dawud). Bagi sebagian kalangan, hadis ini adalah ‘lampu merah’ mutlak; menganggap ucapan selamat Natal berarti telah menyerupakan diri dengan keyakinan lain.
Namun, jika kita meminjam kacamata para pakar hukum Islam (Fuqaha), istilah tasyabbuh atau ‘menyerupai’ dalam hadis tersebut ternyata memiliki ruang kajian yang sangat dalam. Di sinilah perbandingan mazhab bekerja.
Para ulama mencoba memetakan: Apakah ucapan tersebut masuk ke dalam tasyabbuh yang dilarang (dalam hal akidah dan ibadah), ataukah sekadar tasyabbuh dalam adat istiadat yang bersifat sosial? Perbedaan cara pandang dalam menafsirkan “sejauh mana seseorang dianggap menyerupai” inilah yang kemudian melahirkan keragaman hukum di antara imam mazhab.
Perbandingan Pandangan Empat Mazhab
Dalam studi perbandingan mazhab, kita belajar bahwa sebuah hukum tidak lahir dari ruang hampa. Berikut adalah ringkasan bagaimana para imam mazhab memandang interaksi ini.
• Mazhab Hanafi: Secara umum, mazhab ini dikenal cukup fleksibel dalam urusan muamalah (sosial). Namun, dalam hal ucapan selamat pada hari raya agama lain, para ulama klasik cenderung sangat berhati-hati agar ucapan tersebut tidak mengandung unsur keridaan terhadap syiar agama lain. Meski begitu—dalam konteks bertetangga yang baik—tetap ada ruang diskusi yang lebih dinamis.
• Mazhab Maliki: Mazhab ini memiliki konsep Sadd al-Dharai’ (menutup celah kerusakan), sehingga pandangan klasiknya cenderung melarang. Namun, yang menarik, Imam Malik sendiri dikenal sangat menjunjung tinggi keharmonisan sosial. Ulama Maliki kontemporer kini sering membedakan antara ucapan yang bersifat “pengakuan iman” dengan ucapan yang sekadar “keramah-tamahan sosial”.
• Mazhab Syafi’i: Di Indonesia—yang mayoritas Syafi’iyyah—sering kita dengar terkait dengan pendapat yang cukup ketat. Namun, jika kita teliti, diskusinya sebenarnya berkisar pada apakah ucapan itu termasuk tasyabbuh (menyerupai) atau tidak. Jika niatnya hanya untuk menjaga hubungan baik tanpa sedikit pun meyakini kebenarannya, beberapa ulama Syafi’iyyah kontemporer memberikan kelonggaran.
• Mazhab Hambali: Secara tradisional, ini adalah mazhab yang paling ketat dalam isu ini, demi menjaga kemurnian akidah. Namun, bukan berarti tanpa diskusi sama sekali. Fokus utama mazhab ini adalah memastikan seorang Muslim tetap memiliki identitas yang jelas tanpa harus memusuhi secara fisik.
Perbedaan sebagai Rahmat
Sebagai penutup, kita perlu menyadari bahwa perbedaan pendapat di antara para imam mazhab bukanlah alat untuk saling menghakimi siapa yang paling beriman atau siapa yang paling toleran. Perbedaan itu adalah “rahmat” yang memberikan kita pilihan bersikap sesuai dengan konteks lingkungan tempat kita tinggal.
Bagi mereka yang memilih untuk tidak mengucapkan karena kehati-hatian dalam menjaga akidah, itu adalah hak yang harus dihormati. Sebaliknya, bagi mereka yang mengucapkan dengan niat menjaga tali persaudaraan kebangsaan tanpa mencampuradukkan keyakinan, itu adalah itihad sosial yang memiliki sandaran argumennya sendiri.
Pada akhirnya—di tengah keberagaman Indonesia—yang paling penting bukanlah memaksa semua orang punya ucapan yang sama, melainkan memastikan bahwa kita tetap bisa duduk satu meja sebagai sesama anak bangsa. Karena menjadi Muslim yang taat dan menjadi warga negara yang harmonis bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan.