Posted in

Sengketa Perbatasan Thailand-Kamboja: Menguji Efektivitas Hukum Internasional

Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja menjadi contoh penting mengenai cara kerja hukum internasional sekaligus menunjukkan keterbatasan efektivitasnya. Konflik ini telah dua kali diputus oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ), yaitu pada tahun 1962 dan 2013 dengan keputusan yang secara tegas menyatakan bahwa Candi Preah Vihear berada di bawah kedaulatan Kamboja. Dalam kerangka hukum internasional, putusan ICJ bersifat final dan mengikat (final and binding).

Namun, fakta bahwa konflik bersenjata dan ketegangan politik terus berulang hingga satu dekade terakhir memunculkan pertanyaan mendasar mengapa sengketa yang telah diputus secara hukum tetap menjadi sumber ketidakstabilan? Konflik Thailand-Kamboja bukan disebabkan oleh tidak adanya norma hukum internasional, melainkan oleh keterbatasan hukum internasional dalam menjamin kepatuhan negara terhadap putusan yudisial dalam sengketa teritorial yang sarat dengan muatan politik dan sejarah kolonial.

Respon Komunitas Internasional Terhadap Konflik Thailand-Kamboja

Akar hukum sengketa Preah Vihear bermula dari perjanjian perbatasan antara Kerajaan Siam (nama lama Thailand) dan Prancis pada tahun 1904 dan 1907. Perjanjian tersebut menetapkan bahwa perbatasan di kawasan Pegunungan Dangrek mengikuti prinsip watershed. Namun, peta administratif yang disusun oleh otoritas kolonial Prancis yang kemudian dikenal sebagai Annex I Map menempatkan Candi Preah Vihear di sisi Kamboja.

Literatur hukum internasional tentang perbatasan mencatat bahwa konflik semacam ini sering muncul akibat ketidaksinkronan antara teks perjanjian dan peta kolonial. Malcolm Shaw menjelaskan bahwa dalam banyak kasus pascakolonial, peta administratif justru memperoleh bobot hukum yang signifikan karena digunakan secara konsisten oleh negara-negara terkait, meskipun tidak sepenuhnya selaras dengan ketentuan traktat tertulis.

Dalam konteks Thailand-Kamboja, persoalan utamanya bukan sekadar garis geografis, melainkan pertanyaan hukum tentang dokumen mana yang mencerminkan kehendak negara secara sah. Thailand menekankan prinsip geografis, sementara Kamboja menekankan penerimaan jangka panjang terhadap peta kolonial. Ketegangan inilah yang kemudian dibawa ke ICJ.

Eskalasi Militer di Wilayah Perbatasan

Dalam putusan tahun 1962, ICJ menyatakan bahwa Candi Preah Vihear berada di wilayah kedaulatan Kamboja. Mahkamah mendasarkan pertimbangannya pada prinsip estoppel, yakni bahwa Thailand tidak dapat menyangkal keabsahan peta Annex I karena selama bertahun-tahun tidak mengajukan protes resmi terhadap penggunaannya. ICJ menyatakan bahwa sikap diam Thailand dapat ditafsirkan sebagai bentuk penerimaan hukum.

Sejumlah kajian hukum internasional menilai putusan ini sebagai preseden penting dalam penerapan estoppel pada sengketa teritorial. Menurut laporan American Journal of International Law, keputusan ICJ menunjukkan bahwa perilaku negara (state conduct) dapat memiliki konsekuensi hukum yang sama kuatnya dengan teks perjanjian.

Namun, secara kritis putusan ini memiliki cakupan yang terbatas. ICJ hanya memutuskan status kedaulatan atas candi, tanpa memberikan demarkasi rinci terhadap wilayah di sekitarnya. Akibatnya, wilayah yang secara militer dan strategis paling sensitif justru tidak mendapatkan kepastian hukum yang jelas.

Konflik bersenjata yang kembali pecah pada periode 2008-2011 mendorong Kamboja meminta interpretasi atas putusan 1962. Dalam putusan tahun 2013, ICJ menegaskan bahwa wilayah di sekitar candi yang secara fungsional dan geografis terhubung dengan Preah Vihear juga berada di bawah kedaulatan Kamboja. Thailand diwajibkan menarik pasukannya dari kawasan tersebut.

Meski memperjelas cakupan putusan sebelumnya, ICJ secara eksplisit menolak untuk melakukan demarkasi teknis perbatasan. Dalam pandangan Mahkamah, demarkasi merupakan tanggung jawab negara melalui mekanisme bilateral.

Sejumlah analis, termasuk laporan dari Leiden Journal of International Law, menilai pendekatan ini mencerminkan kehati-hatian yudisial, tetapi sekaligus menegaskan keterbatasan peran pengadilan internasional dalam konflik teritorial. Dengan tidak menetapkan garis batas secara presisi, ICJ memang menghindari tuduhan melampaui kewenangan, tetapi pada saat yang sama membiarkan ruang sengketa tetap terbuka.

Implikasi Hukum Penggunaan Kekuatan

Selain tentang permasalahan perbatasan, dari konflik tersebut terdapat penggunaan kekuatan yang menimbulkan persoalan serius. Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB melarang ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial negara lain. Ketentuan ini merupakan norma jus cogens yang tidak dapat dikesampingkan.

Laporan dari International Crisis Group dan Human Rights Watch mencatat bahwa bentrokan bersenjata di sekitar Preah Vihear melibatkan penggunaan artileri berat dan menyebabkan korban sipil serta pengungsian massal. Dalam konteks sengketa teritorial yang telah berada dalam proses hukum internasional, penggunaan kekuatan sulit dibenarkan sebagai tindakan pembelaan diri yang sah.

Para sarjana seperti Christine Gray menekankan bahwa klaim self-defence tidak dapat digunakan untuk membenarkan eskalasi militer dalam sengketa perbatasan yang tidak melibatkan serangan bersenjata lintas negara yang jelas. Dengan demikian, tindakan militer di kawasan Preah Vihear lebih tepat dipahami sebagai pelanggaran kewajiban penyelesaian damai sengketa sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Piagam PBB.

Keterbatasan Implementasi Putusan Hukum Internasional

Kasus Thailand-Kamboja menyoroti masalah klasik hukum internasional tentang kepatuhan terhadap putusan pengadilan internasional, ICJ tidak memiliki mekanisme penegakan langsung. Implementasi putusan sepenuhnya bergantung pada kemauan politik negara.

Menurut laporan UN Secretary-General on the Rule of Law, tingkat kepatuhan terhadap putusan ICJ relatif tinggi dalam sengketa ekonomi dan maritim, tetapi jauh lebih rendah dalam sengketa teritorial yang menyentuh identitas nasional dan keamanan. Sengketa Preah Vihear berada tepat di kategori terakhir.

Dengan demikian, kegagalan implementasi bukan merupakan kegagalan normatif hukum internasional, melainkan kegagalan struktural dalam menjembatani putusan hukum dengan realitas politik domestik negara.

Kasus Preah Vihear menunjukkan bahwa hukum internasional memiliki kapasitas untuk menentukan siapa yang memiliki hak kedaulatan, tetapi tidak selalu mampu memastikan bahwa hak tersebut dihormati dalam praktik. Tanpa kemauan politik yang kuat dan mekanisme implementasi yang efektif, putusan hukum berisiko menjadi simbol legitimasi semata.

Bagi studi hukum internasional, konflik ini menjadi pengingat penting bahwa kekuatan hukum tidak hanya ditentukan oleh teks dan putusan, tetapi juga oleh sejauh mana negara bersedia menundukkan kepentingan politiknya pada tatanan hukum internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *