Banjir dahsyat yang kembali melanda banyak daerah di Sumatra pada akhir tahun ini bukan sekadar fenomena alam yang berulang, melainkan konsekuensi mahal dari pola pembangunan kita.
Setiap genangan mengirimkan pesan serupa: pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan keseimbangan sosial dan ekologis pada akhirnya menimbulkan bencana.
Situasi ini mencerminkan model pembangunan yang stagnan, berulang dalam siklus yang sama: eksploitasi sumber daya, kerusakan lingkungan, bencana, pemulihan sementara, lalu kembali mengulangi kesalahan.
Relevansi Triple Bottom Line
Di sinilah Triple Bottom Line (TBL) menjadi penting—bukan sekadar istilah keberlanjutan, melainkan jalan keluar dari siklus bencana yang semakin membebani ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Menurut teori keberlanjutan modern, lingkungan bukan faktor tambahan melainkan dasar seluruh sistem ekonomi dan sosial. John Elkington menempatkan Planet sebagai prasyarat bagi People dan Profit. Kerangka Planetary Boundaries (Rockström et al., 2009) menegaskan bahwa aktivitas manusia hanya dapat berkelanjutan bila berada dalam batas ekologis yang aman.
Banjir di Sumatra memperlihatkan konsekuensi ketika batas tersebut terlampaui, akibat deforestasi, degradasi daerah aliran sungai, dan perencanaan ruang yang mengutamakan kepentingan jangka pendek, sehingga menciptakan kerentanan struktural.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Dalam kondisi tersebut, bencana bukanlah anomali melainkan hasil yang logis, membuat negara terjebak dalam siklus pengeluaran pemulihan yang terus berulang, menggerus anggaran yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pembangunan produktif.
Setiap bencana menampilkan pola sosial yang serupa: kelompok paling rentan menanggung beban terberat. Penduduk berpendapatan rendah di wilayah rawan banjir kehilangan rumah, pekerjaan, akses pendidikan, dan rasa aman. Aspek People dalam TBL menegaskan bahwa keberlanjutan tidak dapat tercapai bila pembangunan memperlebar ketimpangan.
Amartya Sen, melalui pendekatan kemampuan manusia, menekankan bahwa pembangunan sejati adalah proses memperluas kapasitas individu untuk hidup aman, sehat, dan bermartabat.
Ketika banjir menghancurkan fondasi kehidupan sehari-hari, bukan hanya aset fisik yang runtuh, tetapi juga kemampuan sosial dan ekonomi masyarakat. Tanpa kebijakan yang memperkuat ketahanan komunitas—seperti perumahan layak, perlindungan sosial, dan sistem peringatan dini—pembangunan akan terus menghasilkan korban yang sama di lokasi yang sama.
Selama ini, pertumbuhan ekonomi sering diukur dari seberapa cepat sumber daya alam dapat diubah menjadi angka PDRB. Namun pengalaman bencana menunjukkan bahwa profit dari model eksploitatif bersifat semu dan rapuh. Kerusakan lingkungan menimbulkan gangguan logistik, menurunkan produktivitas, menghambat investasi, serta meningkatkan biaya asuransi dan pemulihan.
Konsep Creating Shared Value yang dikemukakan Porter dan Kramer (2011) menegaskan bahwa keuntungan jangka panjang hanya dapat tercapai bila perusahaan dan negara berinvestasi pada ekosistem yang sehat dan masyarakat yang stabil.
Strategi Kebijakan Berkelanjutan
Dalam konteks ini, banjir Sumatra menjadi bukti bahwa pertumbuhan yang mengabaikan dimensi lingkungan dan sosial pada akhirnya menghancurkan basis keuntungannya sendiri. Keuntungan tidak hilang seketika, melainkan terkikis perlahan oleh biaya yang terus meningkat.
John Elkington pernah menegaskan bahwa TBL bukan sekadar alat pelaporan CSR untuk reputasi. Pada 2018, ia bahkan menarik kembali konsep tersebut karena banyak organisasi gagal memahami esensinya. TBL menuntut perubahan pola pikir: People dan Planet harus menjadi pusat strategi, sementara Profit muncul sebagai hasil keseimbangan keduanya.
Di Indonesia, hal ini berarti keberlanjutan harus menjadi inti perencanaan pembangunan, bukan hanya terhenti pada dokumen visi atau laporan keberlanjutan. Tanpa integrasi nyata dalam kebijakan tata ruang, investasi, dan pengelolaan sumber daya alam, TBL akan tetap menjadi slogan yang tak mampu memutus siklus bencana.
Banjir Sumatra juga menyingkap masalah tata kelola yang masih sektoral dan reaktif. Teori Good Governance dari UNDP menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan transparansi, akuntabilitas, dan kemampuan negara mengelola risiko jangka panjang. Governance bukan sekadar penyerapan anggaran, melainkan keberanian mengendalikan aktivitas ekonomi yang merusak daya dukung lingkungan.
Jika kebijakan pembangunan tidak terintegrasi dengan mitigasi risiko ekologis, negara pada dasarnya menunda masalah ke masa depan dengan biaya yang lebih tinggi. Tata kelola berbasis TBL menuntut sinkronisasi antara perencanaan ekonomi, perlindungan sosial, dan konservasi lingkungan sebagai satu kebijakan terpadu.
Siklus bencana tidak akan terhenti bila respons pembangunan tetap bersifat reaktif. Pendekatan pembangunan preventif menunjukkan bahwa investasi pada pencegahan dan mitigasi bencana jauh lebih efisien dibandingkan biaya pemulihan. Setiap rupiah yang dialokasikan untuk melindungi ekosistem dan memperkuat ketahanan sosial berpotensi menghemat biaya kerusakan berlipat ganda di masa depan.
Dalam kerangka ini, TBL bukan beban tambahan bagi negara dan dunia usaha, melainkan strategi rasional untuk menurunkan risiko sistemik. Keberlanjutan bukan lawan pertumbuhan, melainkan prasyarat agar pertumbuhan tidak runtuh oleh bencana yang diciptakan sendiri.
Banjir Sumatra harus dibaca sebagai peringatan keras bahwa kita tidak dapat terus berputar dalam lingkaran yang sama. Triple Bottom Line menawarkan solusi: Planet sebagai fondasi, People sebagai inti, dan Profit sebagai hasil. Jika salah satu diabaikan, seluruh sistem menjadi rapuh.
Empati terhadap korban bencana harus disertai dengan keberanian kebijakan untuk bertransformasi. Tanpa itu, bencana selanjutnya hanya menunggu waktu. Pilihan jelas: tetap terjebak dalam siklus bencana atau merombak pembangunan dengan TBL sebagai agenda bersama pemerintah, sektor bisnis, dan masyarakat.