Ultimatum Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menargetkan reformasi menyeluruh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam waktu satu tahun, dengan kemungkinan pembekuan dan penggantian fungsi verifikasi perdagangan internasional oleh pihak ketiga seperti SGS (Société Générale de Surveillance), menjadi langkah paling radikal dalam sejarah reformasi birokrasi Indonesia. Kebijakan ini memicu diskusi luas: apakah terapi kejut ini merupakan solusi atas kegagalan reformasi struktural selama puluhan tahun, atau justru membuka risiko baru bagi stabilitas fiskal dan kedaulatan negara?
Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, ultimatum tersebut tidak muncul dari ruang kosong. Selama dua dekade terakhir, bea cukai menjadi salah satu institusi yang paling sering mendapat sorotan akibat masalah transparansi, akuntabilitas, dan tingginya biaya ekonomi yang timbul dari praktik pencarian rente.
Ketidakpuasan Publik Mencapai Titik Kritis
Ketidakpuasan masyarakat terhadap bea cukai telah mencapai ambang batas kritis. Berbagai keluhan yang awalnya tampak terpisah-pisah kemudian meledak menjadi fenomena nasional, mengingat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dianggap telah berlangsung secara parah, masif, dan sistemik. Yang terjadi bukanlah penyimpangan sporadis, melainkan pola terstruktur yang telah membentuk ekosistem rentan penyalahgunaan kewenangan.
Dalam dimensi korupsi, muncul “biaya informal” yang telah dikenal luas oleh pelaku usaha. Mulai dari uang pelicin untuk mempercepat proses clearance, tarif tidak resmi untuk mengubah jalur pemeriksaan, hingga negosiasi penurunan nilai pabean agar bea masuk lebih rendah. Di berbagai pelabuhan, biaya tidak resmi ini bahkan disebut sebagai tarif paralel yang berjalan berdampingan dengan sistem resmi negara.
Jejaring Kolusi dan Nepotisme yang Mengakar
Pada tingkat kolusi, terbentuk jaringan kerja sama antara importir, agen PPJK, dan oknum internal bea cukai. Kolusi ini terwujud dalam pengaturan klasifikasi HS code, rekayasa dokumen invoice, hingga pembuatan jalur hijau buatan untuk barang yang seharusnya diperiksa secara ketat. Dalam beberapa kasus, kolusi tersebut menghasilkan “pasar gelap kebijakan” di mana akses, toleransi, atau fasilitas tertentu bisa diperoleh bukan karena pemenuhan regulasi, tetapi melalui negosiasi informal yang melibatkan banyak aktor.
Tidak kalah penting adalah nepotisme, yang tampak dalam mutasi dan promosi pegawai di pos-pos strategis seperti pelabuhan besar dan bandara internasional. Penempatan yang dipengaruhi patronase menciptakan kelompok internal yang saling menjaga kepentingan. Dalam beberapa kasus penindakan, muncul pula ketidaksesuaian data barang sitaan, atau negosiasi sanksi di luar jalur resmi, yang memperkuat kesan bahwa tata kelola pengawasan tidak berjalan optimal.
Situasi ini membuat frustrasi publik memuncak. Dunia usaha secara rutin mengeluhkan ketidakpastian biaya, lambatnya layanan, hingga pungutan liar yang memperbesar high cost economy. Keluhan tersebut bukan hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga menyumbang pada stagnasi pertumbuhan ekonomi yang sulit menembus angka 5 persen. Persoalan ini jelas berdampak makro.
Respons Pemerintah dan Dampak Ekonomi
Dari sisi pemerintah, pernyataan keras Menteri Keuangan yang menunjukkan kejengkelan terhadap kondisi bea cukai menegaskan bahwa persoalan ini telah mencapai batas toleransi. Ketika pucuk tertinggi otoritas fiskal menyiratkan bahwa struktur internal DJBC sudah berada pada titik yang tidak lagi dapat ditoleransi, hal itu merupakan sinyal bahwa persoalan telah memasuki fase kritis dan membutuhkan intervensi ekstrem.
Tingginya biaya ekonomi (high cost economy) akibat kelemahan struktural DJBC menjadi salah satu hambatan terbesar bagi daya saing nasional. Praktik under-invoicing yang dinegosiasikan di ruang informal tidak hanya mengurangi penerimaan negara, tetapi juga menghasilkan distorsi harga di pasar domestik. Barang-barang yang tercatat murah di dokumen justru beredar dengan harga lebih tinggi karena proses importasi dibebani lapisan pungutan informal.
Distorsi ini memperbesar underground economy, memperlemah daya saing industri dalam negeri, dan menurunkan kepercayaan investor. Tidak mengherankan jika peringkat kemudahan berusaha Indonesia bergerak sangat lambat, salah satunya karena hambatan signifikan pada titik masuk perdagangan internasional.
Ultimatum Kementerian Keuangan, dalam konteks ini, dapat dilihat sebagai sinyal bahwa negara perlu mengambil tindakan luar biasa untuk memotong mata rantai inefisiensi yang telah mengakar.
Risiko dan Peluang Reformasi Sistemik
Membawa pihak ketiga sebagai pemeriksa independen untuk mendukung fungsi verifikasi kepabeanan bukan tanpa risiko. Dalam jangka pendek, negara berpotensi mengalami penurunan penerimaan akibat restrukturisasi kewenangan, pembenahan operasional, dan penyesuaian sistem. Biaya fiskal yang muncul dari masa transisi tidak bisa dihindari.
Namun, dalam jangka panjang, manfaat reformasi sistemik jauh lebih besar dibandingkan biaya sementara di awal. Peralihan dari model interaksi personal ke sistem digital tertutup dapat mengurangi peluang terjadinya pungutan liar. Transparansi meningkat, tingkat kepastian usaha naik, dan penerimaan negara berpeluang meningkat karena kebocoran dapat ditekan.
Pada fase ini, desain reformasi menjadi elemen paling krusial. Digitalisasi menyeluruh, pemanfaatan Internet of Things (IoT), analitik risiko berbasis data, dan mekanisme pre-shipment inspection yang mengikuti standar internasional perlu diprioritaskan. Sistem harus dibangun sedemikian rupa sehingga mengunci seluruh proses secara otomatis, menghilangkan ruang negosiasi informal, dan menekan potensi intervensi manual.
Pelajaran Global dan Pertimbangan Kedaulatan
Penggunaan lembaga pemeriksa independen dalam proses verifikasi bukan hal baru secara global. Banyak negara berkembang yang berhasil meningkatkan integritas sistem kepabeanan melalui audit independen, digitalisasi, dan verifikasi nilai barang impor. Mereka membuktikan bahwa ketika struktur birokrasi terlalu padat dengan kepentingan, melibatkan pihak luar sebagai shock breaker bisa menjadi jalan efektif untuk memutus mata rantai penyimpangan.
Namun, di sisi lain, pemerintah harus sangat berhati-hati terhadap isu kedaulatan data. Data perdagangan internasional merupakan aset strategis negara. Pelibatan pihak ketiga harus disertai batasan yang ketat, pengendalian penuh atas arsitektur data, serta pengamanan informasi strategis agar tetap berada dalam yurisdiksi pemerintah.
Ultimatum Kementerian Keuangan terhadap bea cukai merupakan pertaruhan besar antara stabilitas jangka pendek dan reformasi struktural jangka panjang. Tetapi mempertahankan status quo justru akan memperpanjang kerugian ekonomi yang selama puluhan tahun menggerogoti potensi pertumbuhan nasional.
Jika reformasi dilakukan dengan desain yang matang mengutamakan digitalisasi total, menghapus ruang interaksi rawan penyimpangan, serta menegakkan mekanisme pengawasan independen yang transparan, maka langkah keras ini dapat menjadi titik awal transformasi besar dalam sistem kepabeanan Indonesia.
Ultimatum bukan sekadar ancaman, tetapi momentum untuk memutus mata rantai persoalan yang telah mengakar selama puluhan tahun. Indonesia membutuhkan keberanian politik dan konsistensi kebijakan agar sistem kepabeanan akhirnya sejalan dengan cita-cita pertumbuhan ekonomi yang inklusif, bersih, dan berkelanjutan.