Posted in

TikTok Berubah Menjadi Ruang Terapi Digital Publik

TikTok saat ini tidak hanya berfungsi sebagai platform hiburan, melainkan juga telah menjadi ruang curahan hati publik yang membentuk solidaritas emosional baru di ranah digital. Penelitian terhadap ribuan komentar pengguna menunjukkan bagaimana empati, kesedihan, dan dukungan sosial berpadu menjadi bentuk terapi kolektif di era digital.

Platform TikTok kini telah berkembang menjadi panggung sosial yang merekam aspek terdalam manusia modern, termasuk kecemasan, kesepian, hingga kebutuhan untuk dipahami.

Lapisan Emosi di Balik Konten TikTok

Di balik filter yang cerah dan musik yang menghibur, TikTok menyimpan dimensi emosi yang lebih dalam. Platform ini telah menjadi ruang pengakuan baru, tempat individu mengekspresikan luka batin dan perjuangan mereka untuk tetap stabil di tengah kehidupan yang bergerak cepat.

Dalam penelitian yang dilakukan bersama tim, kami menganalisis 1.443 komentar pada akun TikTok @sundarindah yang aktif membahas isu kesehatan mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 41,3% komentar bernada negatif, 30,3% netral, dan 28,4% positif.

Meski terlihat dominasi komentar negatif pada pandangan pertama, observasi lebih mendalam mengungkapkan bahwa komentar-komentar tersebut justru mencerminkan kejujuran manusia digital. Ungkapan negatif tersebut bukan bentuk kebencian, melainkan dukungan emosional, curahan hati, ekspresi kesedihan, dan pengakuan atas beban psikologis yang selama ini terpendam.

“Aku anxiety disorder, tapi malah dibilang gila sama tetangga,” tulis salah satu pengguna.

“Aku nggak percaya siapa pun lagi, cuma meditasi yang bisa bikin tenang,” tambah pengguna lain.

Ruang Pengakuan Massal Digital

Komentar seperti ini menunjukkan bahwa TikTok telah bertransformasi menjadi ruang pengakuan massal. Di dunia nyata, banyak orang mengalami kesulitan menemukan tempat aman untuk berbagi cerita. Di ruang digital, mereka menemukan sesuatu yang lebih sederhana namun bermakna, yaitu didengar tanpa dihakimi.

Kolom komentar akhirnya berfungsi layaknya ruang terapi publik. Satu kalimat penyemangat, satu emoji hati, atau ucapan “kamu nggak sendirian” dapat menjadi penenang bagi seseorang yang sedang berjuang.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa curahan hati online bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan juga bentuk baru dari pencarian keberadaan. Di balik ribuan komentar tersebut, manusia pada dasarnya hanya ingin memastikan satu hal sederhana, seperti “Aku masih ada, kan?”

Bentuk Dukungan Sosial dalam Komentar TikTok

Dalam teori komunikasi sosial, dukungan sosial terbagi menjadi empat bentuk utama, yaitu emosional, informasi, afirmatif, dan instrumental. Menariknya, keempat bentuk tersebut dapat ditemukan dalam kolom komentar TikTok, meski dengan intensitas yang berbeda.

Komentar positif—seperti “kamu kuat, semangat terus, aku pernah di posisi kamu”—mencerminkan dukungan afirmatif sebagai bentuk validasi dan penguatan moral.

Komentar netral—yang sering berupa pertanyaan seperti “bagaimana cara menemukan psikolog terdekat?” atau “apakah ada konseling daring gratis?”—menggambarkan dukungan informasional di mana audiens saling bertukar pengetahuan untuk mencari solusi nyata.

Sementara itu, komentar negatif justru menghadirkan dukungan emosional yang paling kuat. Mereka menulis dengan jujur tentang kecemasan, trauma, dan perasaan tidak berdaya. Menulis di ruang publik bukan sekadar mencari perhatian, melainkan juga cara bertahan hidup dalam bentuk terapi melalui kata-kata.

Motivasi dan Emosi Pengguna TikTok

Data penelitian kami juga menunjukkan bahwa niat berbagi informasi menjadi motivasi terbesar (28,5%), disusul niat memberi dukungan (16,9%), dan mengeluh (13,38%).

Hal ini mengindikasikan bahwa para pengguna TikTok bukan sekadar penonton pasif, melainkan juga aktor aktif dalam membangun komunitas digital. Mereka saling memberikan dukungan moral, bertukar pengalaman, bahkan sekadar menemani orang asing melalui komentar.

Dari sisi emosi, kesedihan menjadi yang paling dominan (20,28%), disusul kebahagiaan (8,42%) dan dukungan (4,88%). Ini menunjukkan bahwa percakapan di TikTok berakar pada pengalaman nyata dan bukan tren semata. Meski didominasi rasa sedih, muncul juga emosi bahagia dan rasa solidaritas yang menandakan adanya proses pemulihan kolektif.

Solidaritas Digital dan Tantangannya

Inilah wajah baru media sosial: solidaritas digital lahir dari empati anonim. Kita tidak saling mengenal, tetapi bisa saling peduli. Kita tidak berbagi ruang fisik, tapi bisa berbagi rasa. Namun, empati digital juga memiliki sisi gelap. TikTok dengan algoritmanya dapat menciptakan lingkaran kesedihan, yang semakin sering seseorang menonton konten depresi, semakin banyak konten serupa muncul. Pada titik ini, media sosial bisa berubah dari terapi menjadi jebakan emosional.

Maka, perlu dipahami bahwa empati digital tidak bisa menggantikan empati manusiawi. Dukungan sosial daring sangat berarti, tapi tidak seharusnya menjadi satu-satunya sandaran. Dunia nyata tetap membutuhkan percakapan hangat, pelukan, dan tatapan yang penuh perhatian.

Budaya Curhat Online Generasi Z

Budaya curhat online kini telah menjadi bagian dari gaya hidup digital Generasi Z (Gen Z). Mereka tumbuh dalam dunia di mana likes dan views sering kali lebih cepat memberi validasi daripada ucapan dari orang terdekat. Mereka menjadikan TikTok bukan hanya sarana hiburan, melainkan juga ruang eksistensial untuk mencari arti, simpati, dan identitas.

Kesehatan mental pun kini menjadi bahasa pop culture. Tagar seperti #healing, #selflove, dan #mentalhealthmatters ramai dipakai di seluruh dunia. Para influencer, merek kecantikan, dan pembuat konten mempopulerkan narasi tentang mencintai diri sendiri dan menjaga kesehatan jiwa. Namun di sisi lain, isu ini juga berisiko menjadi komoditas empati ketika penderitaan dijadikan konten dan kesedihan dipoles agar tampak estetis.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah media sosial benar-benar membantu proses penyembuhan, atau hanya memproduksi versi digital dari rasa sakit?

Konteks Indonesia dan Literasi Empati Digital

Dalam konteks Indonesia, hal ini menjadi semakin kompleks. Stigma terhadap gangguan mental masih kuat, sementara akses layanan kesehatan jiwa sangat terbatas. Akibatnya, banyak orang menjadikan ruang digital sebagai tempat mencari pertolongan emosional.

Sayangnya, tidak semua pengguna siap menjadi penampung curhat orang lain. Ada yang berniat baik, tetapi salah dalam merespons. Bahkan, ada pula yang menertawakan penderitaan orang lain.

Karena itu, literasi empati digital menjadi hal yang sangat penting. Kita perlu belajar untuk lebih mendengarkan daripada menilai, lebih memahami daripada menasihati. Tidak semua unggahan butuh komentar panjang; kadang cukup satu kata, “Aku paham.”

Forum Solidaritas Emosional Digital

TikTok telah membuktikan bahwa ruang komentar bisa berubah menjadi forum solidaritas emosional. Di sanalah manusia saling berpegangan dalam bentuk paling sederhana dari kata-kata.

Dan mungkin—di antara jutaan komentar yang berseliweran setiap hari—ada satu kalimat yang berhasil menyelamatkan seseorang dari keputusasaan.

Empati digital bukan sekadar tren, melainkan juga tanggung jawab sosial baru. Karena di balik setiap video “healing” yang kita tonton, ada manusia nyata yang sedang berjuang dengan hidupnya sendiri. Barangkali, satu kalimat kecil seperti “kamu berharga, kamu kuat” bisa menjadi alasan seseorang untuk bertahan hari ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *