Presiden Prabowo Subianto dikabarkan telah memberikan persetujuan terhadap rencana pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) baru sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang personel Polri aktif menduduki posisi sipil.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, seusai mengikuti Rapat Koordinasi Tingkat Menteri dan Kepala Lembaga bersama Tim Komisi Percepatan Reformasi Polri.
Yusril menyebutkan target penyelesaian PP tersebut adalah pada Januari 2026.
Dua Regulasi yang Dibahas
Dalam pertemuan tersebut, dibahas dua regulasi yaitu Pasal 28 ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Pasal 19 UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Kedua pasal ini akan disinkronkan dalam PP yang akan diterbitkan.
“Dalam Pasal 19 UU ASN itu disebutkan jabatan ASN pada prinsipnya diisi oleh ASN, tapi dapat diisi prajurit TNI dan anggota Polri untuk jabatan tertentu yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah,” ujar Yusril.
Yusril mengakui bahwa hingga saat ini belum ada regulasi yang mengimplementasikan putusan MK tersebut. Namun, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo baru-baru ini menerbitkan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025.
Penerbitan Perpol tersebut memicu kontroversi karena dianggap bertentangan dengan putusan MK. Dalam Perpol tersebut, polisi aktif tetap diperbolehkan menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga.
Mengenai apakah PP yang akan diterbitkan nantinya akan mencakup seluruh 17 kementerian dan lembaga seperti yang tercantum dalam Perpol, Yusril menyatakan hal tersebut masih akan dibahas lebih lanjut.
“Ya apakah 17 (kementerian/lembaga) itu akan masuk atau tidak dalam PP, itu nanti akan kami diskusikan bersama-sama. Tentu itu menjadi referensi kami, di samping juga masukan-masukan yang dilakukan oleh para tokoh dan juga masukan-masukan dari Komisi Percepatan Reformasi Polri,” ucap dia.
Penyusunan PP baru ini akan dikoordinasikan oleh Kemenko Kumham Imipas dan Kementerian Hukum, dengan draf awal yang disiapkan oleh Kementerian PAN-RB dan Kementerian Sekretariat Negara.

Latar Belakang Putusan MK
Sebelumnya, MK telah mengabulkan gugatan terkait penugasan anggota Polri yang menjabat di luar struktur kepolisian. Putusan ini menegaskan bahwa anggota Polri yang ingin menempati jabatan sipil di luar institusi harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Gugatan tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin, mahasiswa doktoral sekaligus advokat; dan Christian Adrianus Sihite, lulusan sarjana hukum, yang mengaku belum mendapatkan pekerjaan yang layak.
Putusan MK ini mengubah penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) yang sebelumnya memungkinkan anggota Polri menduduki jabatan di luar kepolisian tanpa pensiun.
Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 menyatakan, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”.
Sementara penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘jabatan di luar kepolisian’ adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
MK menyatakan seluruh permohonan pemohon dikabulkan terkait frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Putusan ini bertujuan memastikan bahwa anggota Polri hanya bisa menempati jabatan sipil di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Pertimbangan MK menegaskan Pasal 28 ayat (3) UU Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 sejalan, yaitu mengharuskan pengunduran diri atau pensiun sebelum menduduki jabatan di luar kepolisian. Frasa yang dicabut dianggap mengaburkan substansi ketentuan tersebut dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
MK juga menekankan bahwa jabatan sipil yang dapat diisi anggota Polri harus merujuk pada UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN, baik jabatan manajerial maupun non-manajerial. Kalimat “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dihapus karena memperluas norma secara tidak jelas.